Dalam hadits yang diriwayatkan oleh ‘Adi bin Hatim radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya ia berkata, “Aku mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sedangkan aku mengalungi sebuah salib dari emas, lalu aku mendengar beliau membaca:
اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللهِ
‘Mereka (Kaum Yahudi dan Nasrani) telah menjadikan ulama mereka dan rahib mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah…’[1].”
Beliau (‘Adi) berkata, “Wahai Rasulullah, mereka (kaum Yahudi dan Nasrani) tidak menyembah ulama dan rahib mereka.” Maka beliau menjawab:
«أجل ولكن يحلون لهم ما حرم الله فيستحلونه ويحرمون عليهم ما أحل الله فيحرمونه فتلك عبادتهم لهم»
“Benar, akan tetapi mereka (para ulama dan rahib) menghalalkan apa yang Allah haramkan, maka mereka (kaumnya) ikut menghalalkannya, dan mereka mengharamkan apa yang Allah halalkan, maka mereka ikut mengharamkanya. Itulah ibadah kepada mereka (ulama dan rahib).”[2]
Syaikh Sholih bin Fauzan hafidzhohullah berkata, “Beliau (‘Adi bin Hatim) mempermasalahkan makna ayat ini, karena beliau mengira bahwa makna ibadah hanya terbatas pada sujud, dan menyembah berhala saja, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa mentaati mereka dalam mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram termasuk dalam kategori ’menyembah para ulama dan rahib’…”[3]
Maka siapapun yang mengarahkan ibadah dalam bentuk apapun kepada selain Allah, sesungguhnya ia telah menjadikan sesuatu itu sebagai tuhan selain-Nya.
Ibadah itu sendiri maknanya luas, di antara contohnya adalah pengagungan, rasa takut, rasa cinta, harapan, dan tawakal. Maka jika ada seseorang yang merasa takut ditimpa keburukan ‘roh-roh jahat’ jika ia tidak menanam kepala kerbau ketika membangun rumah, ketahuilah bahwa ia telah beribadah kepada ‘roh-roh’ itu dengan hatinya, sadar maupun tidak.
[1] Surat At-Taubah ayat 31.
[2] As-Sunan Al-Kubra milik Al-Baihaqi no. 20350. Diriwayatkan pula oleh At-Tirmidzi dan Imam Ahmad dan dihasankan oleh Syaikh Al-Albani.
[3] Al-Mulakhkhos fi Syarh Kitabit Tauhid hal. 300.